Popular Posts

Friday, February 24, 2012

Beragama bukan untuk menciptakan kesukaran

Syaykh Al-Zaytun Dr AS Panji Gumilang dalam even Knight's Investiture; menerima penganugerahan gelar  'Datuk Katurunan ' dari Royal Hashemite Sultanate of Sulu and Sabah di Kampus Al-Zaytun tepat pada peringatan hari 1 Muharram 1432 H.Sementara Umi mendapat gelaran sebagai 'Datin'

Horizon 
Agama (Beragama)
Bukan untuk Menciptakan Kesukaran
Oleh: Dr Syaykh Panji Gumilang
Editor: Crew Majalah Al-Zaytun
Motto:
1.     Dia (Tuhan) telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan kesukaran (kesulitan) untukmu dalam agama Q.S. 22:78.
هو اجتباكم وما جعل عليكم فى الدين من حرج
2.     Aku (Nabi Muhammad SAW) diutus untuk menyampaikan aqidah tauhid yang lurus dan perilaku yang penuh toleransi
بُعِثتُ بِالحَنِيفِيَّةِ السَّمحَةِ (الحديث)
Pelaksanaan Idul Kurban tahun ini 1432H/2011M dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, diapit oleh dua hari bersejarah yang selalu dikenang oleh bangsa Indonesia yaitu 28 Oktober merupakan hari Sumpah Pemuda dan 10 November sebagai hari Pahlawan.
28 Oktober 1928 adalah hari bulan diproklamasikannya tekad dan kemauan untuk bersatu oleh kaum pemuda demi terwujudnya satu negara, bangsa, dan bahasa Indonesia. Sehingga dengan tekad dan kemauan yang menggumpal sebagai sumpah tersebut, menjadi semakin bulat dan kuat semangat menuju pencapaian proklamasi kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman penjajah bangsa asing.
Sedangkan 10 November dikenang sebagai hari Pahlawan, merupakan peringatan terhadap peristiwa penting sejarah kemerdekaan Indonesia. Di hari bulan tersebut tahun 1945, berlangsung peperangan dahsyat antara pemuda Surabaya dan tentara koalisi (sekutu) yang bertujuan menduduki kembali Indonesia melalui Surabaya, Jawa Timur. Sekalipun peperangan itu terjadi di Surabaya, namun hari bulan tersebut dijadikan simbol perlawanan nasional bangsa Indonesia terhadap penjajahan. Dan ditetapkan sebagai hari pahlawan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia karena banyaknya korban jiwa sebagai pahlawan dalam peperangan tersebut.
Hari ini 6 November, kita menyambut Idul Kurban/Idul Adha. Bersamaan dengan pelaksanaan shalat Idul Adha, peristiwa kisah suci tentang Nabi Ibrahim menyembelih putra kesayangannya selalu diperingati oleh kaum muslimin, dengan menyembelih binatang kurban, baik oleh mereka yang sedang melaksanakan ibadah haji maupun oleh mereka yang tidak pergi melaksanakannya.
Menyembelih binatang kurban, begitu juga berpakaian ihram dalam pelaksanaan haji dan sejenak wukuf di padang Arafah, semuanya adalah pelaksanaan ritual simbolik.Semuanya terpulang kepada pelakunya, seberapa jauh dan dalam, seseorang pelaku ritual itu memaknai dan mengambil hikmah daripadanya.
Yang pasti semua pesan ritual simbolik yang dilaksanakan sebagai bentuk ibadah, harus kita hayati secara mendalam dan substantif, yaitu pesan moralitas dan spiritual sebagai tujuan setiap ibadah yang kita laksanakan. Agar dalam keseharian, ibadah kita tidak menimbulkan paradoksi, antara kecenderungan keberagamaan yang ditandai oleh semakin semaraknya ritual keagamaan. Sedang di sisi lain pesan moral daripadanya, yang dipesankan oleh agama kehilangan sendi-sendi kesalehan sosialnya.
Karenanya, menyenyawakan antara kehidupan beragama dan kehidupan bermasyarakat, menjadi suatu keharusan dalam kehidupan keseharian.
Agama dalam definisi sederhana adalah aturan atau tata cara hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Sedangkan masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi, menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Karenanya, pelaksanaan berbagai ritual yang simbolis itu harus dapat melatih diri pelakunya, menjadi semakin berkemampuan mewujudkan interaksi positif dalam kesatuan hidup sesama umat manusia dan lingkungannya dan yang semakin berkualitas. Menjadikan dirinya lebih berguna dan bermanfaat bagi setiap umat manusia. Wujud nyata dari keberagamaan yang benar adalah kemampuan bebuat baik bagi sesama manusia, dan itu pula suatu bukti kebenaran iman seseorang kepada Tuhannya.
Mari kita telaah lebih mendalam tentang kurban itu. Mengapa kita dituntut untuk memiliki semangat berkurban yang setinggi-tingginya. Mengapa kita diperintahkan untuk mencontoh Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, dan mempelajari semangat pengorbanan mereka.
Kurban adalah perkataan Arab, yang artinya adalah “pendekatan”, yaitu pendekatan kepada Tuhan. Maka, melakukan kurban adalah melakukan sesuatu yang mendekatkan diri kepada Tuhan yakni mendekatkan diri kita kepada tujuan hidup. Sebab, kita berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya.
Tindakan berkurban adalah tindakan yang disertai pandangan jauh ke depan yang menunjukkan bahwa kita tidak mudah tertipu oleh kesenangan sesaat, kesenangan sementara, kemudian melupakan kebahagiaan abadi, kebahagiaan selama-lamanya.
Oleh karena itu, makna berkurban ialah bahwa dalam hidup kita melihat jauh ke masa depan dan tidak boleh terkecoh oleh masa kini yang sedang kita alami, bahwa kita tabah dan sabar menanggung segala beban yang berat dalam hidup kita saat sekarang. Sebab, kita tahu dan yakin bahwa di belakang hari kita akan memperoleh hasil dari usaha, perjuangan, dan jerih payah kita.
Maka kita maknai, berkurban ialah, bahwa kita sanggup menunda kenikmatan kecil dan sesaat demi mencapai kebahagiaan yang lebih besar dan kekal. Kita bersedia bersusah payah karena hanya dengan susah payah suatu tujuan tercapai, dan cita-cita terlaksana. Semangat berkurban adalah konsekuensi iman dan takwa kepada Allah. Sebab, takwa itu jika dijalankan dengan ketulusan dan kesungguhan akan membuat kita berkemampuan melihat jauh ke depan, mampu menginsafi akibat-akibat perbuatan saat ini di kemudian hari, kemudian menyong­song masa mendatang dengan penuh harapan.
Tujuan Berkurban (Umum)
Tujuan kurban dan pengurbanan yang pernah dicontohkan oleh Abul Basyaar al-Tsani Ibrahim ‘alaihissalam adalah sebuah usaha terciptanya kehidupan yang penuh kedamaian dan kesejahteraan, penuh keimanan dan keadilan serta penghormatan terhadap tatanan hukum yang diberlakukan oleh sang pencipta. Dan yang sedemikian itulah hakikat hidup dan kehidupan manusia di muka bumi ini yang dikehendaki oleh Sang Pencipta.
Ibrahim a.s. merupakan prototype hamba Allah yang sanggup mengarahkan segala langkah pengorbanannya kepada tujuan tersebut dan survive, mampu mengatasi berbagai rintangan dan cobaan dalam mengarungi kehidupan di muka bumi ini. Karenanya Allah mengabadikan penobatannya (pengang­katan Ibrahim a.s.) sebagai pemimpin umat manusia.
Tujuan Berkurban (Khusus)
Dunia yang terdiri dari 217 negara besar dan kecil, yang telah merdeka maupun masih dalam protektorat negara lain, jumlah penduduknya di awal abad ke-21 ini, telah mencapai: 7 milyar orang, 45,73% mendiami empat negara berpenduduk besar (Cina, India, Amerika dan Indonesia). Seakan menggam­barkan perwakilan pemeluk agama-agama besar dunia: Budha, Hindu, Kristen, dan Islam. Indonesia sendiri penduduknya mencapai hampir 3,5 % (3,464%) dari seluruh penduduk dunia.
Indonesia yang berpotensi seperti itu, kini dan masa depan harus ditata dan dihantarkan menjadi sebuah negara yang memiliki peran besar bagi umat manusia sedunia. Berperan dalam menyumbang keperluan pangan, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kesejahteraan, kestabilan politik dan keamanan serta perdamaian dunia. Menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara memiliki peran besar bagi umat manusia sedunia, sungguh sangat memerlukan pengurbanan dari setiap penduduk dan pemimpin bangsa, dari lapisan yang paling bawah hingga yang paling atas. Pengurbanan yang diperlukan adalah pengurbanan dalam makna yang seluas-luasnya, menyangkut moral dan material. Pengurbanan yang dengannya mampu menyatukan bangsa ini menjadi seperti semboyannya, Unity in Diversity – Bhinneka Tunggal Ika.
Membangun Karakter Bangsa
Membangun karakter menjadi sangat diperlukan dalam memaknai kehidupan merdeka yang telah dicapai oleh bangsa kita atas karunia Allah. Pendahulu kita telah menghantarkan hidup merdeka dari kehidupan kolonialis dan imperialis penjajah, karena mereka memiliki kegigihan. Gigih telah menjadi watak mereka, sehingga mampu menghantar dan mewujudkan kemerdekaan kepada bangsanya, mereka itulah para pahlawan.
Membangun karakter bangsa adalah membangun pandangan hidup, tujuan hidup, falsafah hidup, rahasia hidup serta pegangan hidup suatu bangsa. Sebagai bangsa, bangsa Indonesia telah memiliki pegangan hidup yang jelas. Dimulai sejak dikumandangkannya Proclamation of Independence Indonesia dan dicetuskannya Declaration of Independence daripada Indonesia, sebagai cetusan kemerdekaan dan dasar kemerdekaan, sekaligus menghidupkan kepribadian bangsa Indonesia dalam arti kata yang seluas-luasnya, meliputi kepribadian politik, kepribadian ekonomi, kepribadian sosial, kepribadian kebudayaan atau kepribadian nasional.
Disaat bangsa Indonesia dalam suasana memperingati hari Pahlawan 10 November, dan merayakan ‘Idul Adha ini marilah kita sebagai bangsa, bercermin, dan kaca cermin yang kita gunakan adalah cita-cita kemerdekaan Indonesia, yakni: merdeka untuk bersatu, berdaulat, adil makmur, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ketertiban dunia, perdamaian abadi, keadilan sosial, berkedaulatan rakyat, iman kepada Tuhan YME,kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Membangun dari Masa ke Masa
Namun Indonesia sebagai negara, bangsa, yang intinya adalah rakyat yang menjunjung tinggi eksistensinya, sangat memerlukan definisi real terhadap kerja/usaha membangun Indonesia yang dicintai ini. Sehingga kesinambungan pembangunan dari masa ke masa tidak terputus hanya karena ketidakmampuan penanggung jawab pembangunan mendefinisikan kelanjutan pembangunan Indonesia yang sama-sama kita cintai.
Indonesia yang telah kita proklamasikan kemerdekaannya itu, berupa masyarakat majemuk, yakni masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok persatuan yang sering memiliki kebudayaan yang berbeda. Namun karena kecintaannya terhadap Indonesia sebagai negara, bangsa, dan bahasanya, terciptalah suatu ikatan: Bersatu di dalam kepelbagaian.
Karenanya Indonesia bagi bangsanya semestinya dapat menjadi rumah tempat berteduh bagi individu penghuninya yang majemuk itu. Rumah Indonesia akan dapat berfungsi peneduh secara hakiki, jika individu maupun kelompok penghuninya tidak egoistik/ananiyah. Namun fungsi peneduh yang hakiki itu dapat dirasakan dengan seksama jika sikap dan jiwa altruistik/nahniyah/kebersamaan dalam arti seluas-luasnya dapat diwujudkan dalam rumah Indonesia ini.
Penghuni rumah Indonesia yang pluralistik ini semestinya tampil secara sadar sebagai aktor pembangunan sikap dan jiwa altruistik/nahniyah. Sekat-sekat budaya, ras, dan agama semestinya tidak menjadi penghambat penghuni rumah Indonesia. Ras, budaya, agama, dan lain-lain yang dimiliki oleh penghuni rumah Indonesia ini kita miliki untuk memperkaya subjek dalam melakukan sesuatu di dalam rumah Indonesia ini. Kita jadikan kekayaan budaya itu untuk meningkatkan kecerdasan pikiran kita, mempertebal sikap toleransi dalam memiliki dan menyampaikan kehendak, memperhalus memaknai kebebasan dan kemerdekaan yang kita miliki, selanjutnya dapat memberikan arti dan makna atas segala sesuatu yang kita lakukan dan karenanya kita mampu menilai tindakan dan hasil tindakan kita sendiri. Membangun jiwa kekitaan yang tumbuh dari keluarga besar rumah Indonesia dengan sadar, akan mengangkat harkat dan martabat Indonesia kini dan mendatang.
Sebagai negara yang berdasar atas kemanusiaan yang adil dan beradab, yang telah dijabarkan oleh UUD negara dalam bab hak asasi manusia, yang secara panjang lebar diurai dalam berbagai pasal dan ayat-ayatnya, bahkan dipertegas lagi dalam petunjuk detail berupa UU tentang hak azasi manusia. Semuanya itu agar dapat melindungi manusia/kemanusiaan serta mengajak dan mendorong bangsa Indonesia agar dapat memiliki budaya saling mengorangkan orang.
Menggalang Solidaritas Sesama Bangsa
Mari kita yakini bahwa kita bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang majemuk, majemuk dalam kesukuan, keagamaan, ras, dan golongan, namun menyatu dalam kebangsaan, yakni Indonesia. Tidak ada yang lebih tinggi derajatnya kecuali yang hidupnya dapat lebih bermanfaat dan menyebarkan manfaat bagi kemaslahatan hidup bangsanya dan manusia pada umumnya.
Solidaritas yang kita maksudkan adalah, sifat satu rasa, senasib, setia kawan, dll. Sifat solidaritas semacam ini baru akan timbul jika kita telah menyatu dalam pola pikir dan sistem berpikir bersumber dari dasar yang sama, yakni nilai-nilai dasar negara Indonesia yang telah disepakati. Dengan didukung oleh potensi-potensi yang dimiliki oleh warga bangsa dan didukung oleh rasa solidaritas yang tinggi dalam menghadapi berbagai tantangan, kita yakin, harapan kita untuk  masuk ke dalam masa depan yang  cerah dalam wujud Indonesia kuat, menjadi sangat mungkin untuk wujud.
Bumi Harus Diselamatkan
Mengapa bumi harus diselamatkan dari kerusakan maupun kehancuran? Sebab bumi (tanah) adalah asal kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, ke dalam bumi pula disemayamkan, dan per­gantian generasi selanjutnya bersumber dari bumi yang kita huni ini.
Menurut keyakinan umat beriman maupun manusia secara keseluruhan, bumi dan isinya adalah karunia Ilahi, karunia paripurna yang dianugerahkan kepada umat manusia. Dilengkapi dengan petunjuk pemanfaatannya, untuk itu manusia dikarunia akal, naluri, dan kodrat alamiah untuk kelanjutan hidup masing-masing.
Bangsa Indonesia Ikut Bertanggung Jawab
Sejak dikumandangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia dengan tegas menyatakan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Oleh sebab itu, gejolak apa pun yang terjadi di muka bumi ini, Indonesia berkewajiban ikut meredamnya, itu sebuah konsekuensi.
Oleh sebab itu, bangsa Indonesia telah membentuk dan memiliki pemerintah negara, yang fungsinya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah air Indonesia sudah sewajibnya bertindak arif dan bijak menetapkan kebijakan-kebijakan dan rencana strategis berbentuk program aksi yang jelas dan terkontrol dalam menghadapi berbagai isu besar permasalahan global yang sudah pasti dampaknya akan menimpa negara kepulauan Indonesia ini.
Kesadaran individu menuju terciptanya kesadaran bersama dalam menghadapi segala macam tantangan kehidupan harus terus dibangun. Musibah, bencana, kecelakaan dalam kehidupan, datangnya selamanya tidak pernah memilih dan memilah objek/sasaran maupun korbannya.
Kesadaran yang kita bangun adalah, kesadaran memelihara lingkungan hidup, memelihara bumi tempat kita tinggal. Kita ciptakan suasana lingkungan yang asri. Bumi yang memiliki dan mampu menampung air yang bersih, penuh tegakan pohon rimba yang tertata kerimbunannya, berisi berbagai macam ternak yang sehat dan menyehatkan, penuh dengan tanaman pangan yang dapat membantu pangan dan pakan menuju pertumbuhan kesehatan bangsa dan umat manusia serta makhluk hidup lainnya.
Berkurban adalah berjuang, sebaliknya berjuang adalah berkurban. Selanjutnya, suatu pertanyaan kita sampaikan, “Untuk apa berkurban, untuk apa pula berjuang? Banyak jawaban yang dapat disampaikan, namun dalam kesempatan ini ada baiknya kalau pertanyaan itu kita beri jawaban sebagai berikut, “Kita berkurban dan berjuang untuk mewujudkan perdamaian abadi bagi kehidupan umat manusia kini dan mendatang.
Meng-update Indonesia harus dengan visi masa depan yang jelas. Visi tentang masa depan Indonesia yang diinginkan bersama menjadi sangat perlu bagi bangsa Indonesia. Sebab tanpa visi, bangsa ini akan hancur. Mengapa kita harus bervisi untuk masa depan Indonesia, karena masa depan Indonesia bukan sebuah hadiah yang datang begitu saja, melainkan sebuah achievement (prestasi) yang dibuat oleh Indonesia itu sendiri. Masa depan Indonesia adalah sesuatu yang belum datang dan belum ada, tapi ia pasti datang dan ada, entah berbentuk kebaikan maupun sebaliknya. Tapi kita sebagai bangsa memunyai hak untuk menggambarkan suatu peta masa depan Indonesia yang kita kehendaki. Dari peta itulah kita dapat menapak jalan kemajuan dan prestasi yang kita kehendaki.
Saat ini kebebasan telah kita miliki, namun sinar yang menunjuki perjalanan di kegelapan belum kita nyalakan. Kebebas­an Indonesia tetap gelap sebab sinar Pendidikan belum kita tata dengan serius. Indonesia tetap gelap karena ekonomi kita belum kita atur dengan jujur. Indonesia tetap gelap karena energi kita belum kita kuasai dengan sempurna. Indonesia tetap gelap karena environment kita terus kita rusak. Indonesia akan menjadi terang benderang dan menjadi strong jika ada empat E besar.  “4 Big E (Education, Economy, Energy, Environment) telah menjadi strength secara nyata.

No comments:

Post a Comment